Kamis, 04 April 2013

Konsep Psikologi tentang Manusia Kaitannya dengan Dakwah


Konsep psikologi tentang manusia kaitannya dengan dakwah


Manusia dalam pandangan psikologi adalah makhluk yang memiliki dua dimensi yang menyatu, yakni jiwa dan raga (psiko-psikis). Jiwa itu abstrak beradaa dalam raga, selama ia berada dan menyatu dengan raga menjadi satu kesatuan yang disebut individu, maka selama itu pula disebut manusia.
Objek kajian psikologi adalah prilaku yang merupakan manifestasi jiwa itu sendiri. Begitupula dengan psikologi dakwah ynag mempunyai tugas memaparkan prilaku da’i dan mad’u. Jadi antara psikologi umum dan psikologi dakwah memiliki objek kajian yang sama yaitu prilaku manusia.
Ada lima prespektif yang dapat digunakan untuk melihat prilaku diantaranya: pertama, Perspektif Neurobiologis yang mengatakan bahwa “pengkondisian” melibatkan perubahan hubungan di antara neuron-neuron atau sel sarafnya. Maksudnya bahwa biologi mengkontribusikan motif dan emosi manusia, sehingga adanya hubungan yang erat antara kegiatan otak dengan prilaku dan pengalaman individu. Jadi aktivitas otak dan sistem saraf mempengaruhi perilaku manusia. Kedua, Perspektif Behavioral yang menyatakan bahwa perilaku harus menjadi satu-satunya masalah utama dalam psikologis. Salah satu teorinya adalah psikologi stimulus-respon (S-R). Teori tersebut mengatakan bahwa manusia mempelajari stimulus (rangsangan) yang nyata di lingkungan sehingga adanya respon dari stimulus tersebut berupa perilaku yang terefleksikan dalam kehidupan. Ketiga, Perspektif kognitif yang menyatakan bahwa manusia tidak hanya merupakan reseptor yang pasif terhadap stimulus. Prilaku manusia itu dalam teori ini sangat kompleks, banyak bidang penting dari fungsi manusia seperti Persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi. Keempat, Perspektif Psikoanlalitik yang menyatakan bahwa sebagian besar prilaku manusia berasal dari proses bawah sadar. Manusia memiliki Id (ilham fujur), ego (ilham takwa) dan superego (sebagai pengendali keduanya yang akan terefleksikan dalam prilaku). Kelima, Perspektif Humanistik yang menyatakan bahwa individu bebas memilih dan menentukan prilakunya namun ia bertanggung jawab atas perilaku itu.
Dalam psikologi dakwah kelima perspektif tersebut sangat penting sekali, karena akan membantu da’i sebagai pelaku dakwah dalam menentukan metode mana yang akan dipakai ketika melakukan kegiatan dakwah yang sesuai dengan perspektifnya dalam memandang prilaku. Kelima perspektif tersebut juga dapat digunakan untuk menganalisis perlikau da’i maupun mad’u, misalnya saja perspektif neurobiologis dan perspektif behavoiral. Dari kedua perspektif tersebut dapat digunakan dalam proses dakwah dengan cara membuat stimului yang relevan dengan respon yang diharapkan selaras dengan tujuan dakwah. Maksudnya seorang da’i harus memahami keadaan lingkungan sekitar untuk memberikan stimului atau rangsangan kepada mad’u agar mendapatkan respon dari mad’u dalam melaksanakan kegiatan dakwah. Dan ketiga perspektif lainnya dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk memilih metode mana yang tepat untuk berdakwah kepada mad’u dengan prinsip menghargai mereka, memberikan pilihan prilaku, dan mengarahkan bahwa sadar mereka pada nilai-nilai yang sesuai dengan nilai ajaran agama.

Perbedaan Psikologi Barat dengan Psikologi Islam

1. Jika Psikologi Barat merupakan produk pemikiran dan penelitian empirik, Psikologi Islam , sumber utamanya adalah wahyu Kitab Suci Al Qur’an, yakni apa kata kitab suci tentang jiwa, dengan asumsi bahwa Allah SWT sebagai pencipta manusia yang paling mengetahui anatomi kejiwaan manusia. Selanjutnya penelitian empiric membantu menafsirkan kitab suci.
2. Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah SWT.
 3. Jika konseling dalam Psikologi Barat hanya di sekitar masalah sehat dan tidak sehat secara psikologis, konseling Psikologi Islam menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna, benar dan merasa dekat dengan Allah SWT.
4. objek kajian psikologi islam adalah ruh yang memiliki dimensi illahiah (teosentris), sedangkan objek kajian psikologi kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris).

Behavior (tingkah laku) dan Konformitas terhadap Norma Kelompok



(Sebuah studi kasus pada mahasiswa-mahasiswi BKI)


      A.    Pendahuluan
Masyarakat atau suatu kelompok merupakan kumpulan individu-individu yang membentuk sebuah sistem tertentu untuk berinteraksi satu sama lain. Setiap individu pasti memiliki pendapat, kepentingan, dan keinginan yang berbeda. Oleh karna itu agar masyarakat atau suatu kelompok tersebut dapat berjalan dengan teratur maka diperlukannya suatu sistem aturan yang biasa kita sebut sebagai norma.
Norma dalam suatu kelompok biasanya mengatur sikap dan prilaku atau perbuatan anggota kelompok tersebut. Sikap dan tanggapan anggota kelompok terhadap norma kelompok dapat bermacam-macam. Ada anggota yang tunduk (konform) pada norma kelompok dengan terpaksa karena ia termasuk dalam kelompok yang bersangkutan, tetapi ada juga yang tunduk (konform) pada norma kelompok dengan penuh pengertian dan penuh kesadaran, sehingga norma kelompok dijadikan normanya sendiri.
Sebagai contoh kasus mengenai aturan-aturan yang diberlakukan dikelas, baik aturan dari dosen maupun dari kosma atas kesepakatan bersama. Ada sebagian dari mahasiswa yang tunduk atau menataati aturan tersebut karena terpaksa tapi ada juga yang karena kesadaran dan pengertiannya mentaati norma dalam kelompok tersebut. Sebagai contoh ketika dosen mata kuliah tertentu memberikan aturan terhadap prilaku berpakaian mahasiswi agaar berpenampilan rapih dan tidak memakai celana jeans ketat. Adanya aturan tersebut menyebabkan para mahasiswi memakai rok ketika berada di dalam kelas. Mahasiswi yang terpaksa mentaati aturan biasanya ketika keluar dari kelas langsung membuka rok-nya dan memakai celana jeans lagi, sedangkan mahasiswi yang mentaati karena kesadaran dan pengertiannya tetap memakai rok walaupun di luar kelas. Aturan yang sudah terbentuk tersebut susah untuk diubah pada waktu itu karena sudah disepakati bersama. Akan tetapi masih ada juga mahasiswi ataupun mahasiswa yang tidak mematuhi aturan walaupun aturan tersebut telah di buat. Dari hal tersebut maka dapat dilihat konsep diri mereka yang konfrom terhadap aturan ataupun yang tidak mematuhi aturan secara psikologis.

     B.     Landasan teori
Norma adalah kesepakatan bersama. Karenanya sifat norma adalah subjektif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan kesepakatan itu sendiri sehingga diperlukan penyesuaian diri dari individu kepada norma yang berlaku di setiap kelompok (masyarakat) yang akan ditemui atau yang akan masuk pada anggota masyarakat tersebut. Dalam menyesuaikan diri individu dapat melakukan konformitas (mematuhi karena ada tekanan dari kelompok), compliance (Konfirmasi yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju), acceptance (konformitas yang disertai prilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial). Sejalan dengan pendapat M. Sherif (1937) yang menyatakan bahwa “norma itu relatif dan subjektif”. Buktinya ketika beberapa orang di tempatkan di ruang gelap gulita dan hanya ada satu titik lampu yang menyala sejauh 5 meter, dan ketika itu titik lampu di matikan maka persepsi orang mengenai jarak bergerak titik lampu itu bisa dikatakan sama karena adanya kesepakatan. Maka dapat disimpulkan bahwa kelompok cenderung menyepakati sesuatu dan cenderung bertahan pada kesepakatan itu walaupun kesepakatan itu tidak benar sama sekali.
Konformitas merupakan prilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh kegiatan sendiri. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Individu yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga individu cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monks dkk, 2004, h.283). Menurut Deutsch & Gerrad (1955) ada dua penyebab mengapa orang berprilaku konform: 1) Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain; 2) Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat dielakan lagi.
Tidak semua orang mempunyai tingkat konformitas yang sama. Wanita biasanya lebih mudah konform daripada pria, penyebabnya dimungkinkan karena: 1) kepribadian wanita lebih flexibel; 2) status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi. Tipe kepribadian ada pengaruhnya pada prilaku konform karena tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi atau prilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi tertentu.
Ada dua faktor yang menyebabkan individu tidak mau konform/patuh atau menolak tekanan sosial: 1) Jika ia merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini ia akan melakukan perlawanan. Semakin besar tekanan sosial semakin kuat perlawanannya; 2) Setiap orang ingin tampil unik.
Dalam psikoanalisa, norma dapat mempengaruhi kepribadian atau behaviour (tingkah laku) seseorang. Ada dua macam reaksi terhadap pelanggaran norma, yaitu (1) rasa malu (shame) dan (2) rasa bersalah (guilt). Ciri-ciri orang yang malu jika melanggar norma adalah: 1) lebih cepat marah, tersinggung, curiga; 2) cenderung menyalahkan orang lain; 3) menyatakan kebencian secara tidak langsung; 4) lebih memperhatikan diri sendiri daripada orang lain. Dipihak lain, ciri-ciri orang dengan reaksi rasa bersalah jika melanggar norma adalah: 1) menyalahkan diri sendiri; 2) marah pada diri sendiri; 3) benci pada diri sendiri; 4) lebih berempati kepada orang lain dan kurang mementingkan diri sendiri.


      C.    Hasil analisis
Dari contoh kasus diatas maka dapat di analisis mengenai prilaku individu akan konformitasnya dalam norma kelompok. Sungguh jelas bahwa norma itu terbentuk dari kesepakatan dan sifatnya relatif. Maksud relatif disana yaitu dapat disesuaikan dengan kondisi kelompok tersebut. Dari kasus tersebut, aturan untuk berpakaian rapih dari dosen sudah disepakati oleh bersama sehingga semua mahasiswi ataupun mahasiswa harus mentaati aturan tersebut jika ingin tetap berada dalam kelompok dan diakui oleh keloompok tersebut. Akan tetapi aturan ini bisa tidak tetap sifatnya. Karena jika dosen tersebut tidak mengajar lagi di kelas maka bisa saja para mahasiswa kembali bebas tidak terkekang oleh aturan tersebut. Dalam kondisi seperti itu, dapat dikatakan bahwa motivasi untuk menuruti aturan kelompok cukup tinggi pada individu, karena menganggap aturan kelompok adalah yang paling benar serta ditandai dengan berbagai usaha yang dilakukan remaja agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok.
Dilihat dari prilaku penyesuaian diri yang dilakukan oleh mahasiswi, individu yang mentaati aturan karena terpaksa bearti individu tersebut melakukan penyesuaian diri dengan compliance, mereka tetap memakai rok di hadapan umum walaupun sebenarnya dalam hati mereka tidak mau dan tidak nyaman. Sedangkan individu yang mentaati aturan karena kesadaran diri dan pengertiannya bearti individu tersebut melakukan penyesuaian diri dengan acceptance, menerima aturan sehingga prilaku mereka sesuai dengan tatanan sosial. Penyesuaian diri tersebut penting bagi individu karena Penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkingannya atau proses bagaimana individu  mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungannya yang dalam prosesnya yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik secara sukses serta menghasilkan hbungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup (Ali, M. & Asrori, M. 2005).
Menurut Deutsch & Gerrad (1955) ada dua penyebab mengapa mahasiswi ataupun mahasiswa berprilaku konform (mematuhi aturan baik terpaksa atupun tidak). Pertama, Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain. Kedua, Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat dielakan lagi. Dilihat dari prilaku mahasiswi atupun mahasiswa ternyata tingkat konformitas seseorang tidak sama, mahasiswi lebih cenderung konform daripada mahasiswa, karena masih ada juga mahasiswa yang tidak berpakaian rapi misalnya dengan memakai kaos oblong ketika di kelas. Itu mungkin saja dikarenakan karena wanita lebih flexsibel dan tipe kepribadian mereka berbeda. Dan ketidak patuhannya terhadap aturan juga bisa dikarenakan mereka merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini ia akan melakukan perlawanan. Semakin besar tekanan sosial semakin kuat perlawanannya. Selain itu, setiap orang ingin tampil unik sehingga mereka ingin menampakan apa yang ada dalam dirinya walaupun itu tidak sesuai dengan norma kelompok tersebut.
Mereka (para mahasiswa) yang tidak mematuhi aturan cenderung menyalahkan orang lain ataupun keadaan, menyatakan kebencian secara tidak langsung terhadap dosen yang membuat aturan dan lebih memperhatikan diri sendiri daripada orang lain. Reaksi tersebut dikarenakan rasa malu (shame) karena telah melanggar norma. Prilaku individu yang cenderung menyalahkan orang lain ataupun keadaan dalam psikologi disebut sebagai proyeksi, yaitu mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Lebih singkatnya menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya.

      D.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara tingkah laku dengan konformitas dalam norma kelompok. Jika norma kelompok itu positif maka akan mempengaruhi prilaku individu menuju arah yang positif juga, akan tetappi kebalikannya jika norma dalam kelompok itu bersifat negatif maka akan mempengaruhi prilaku individu yang menyimpang dan tidak sesuai dengan tatanan sosial.
Prilaku konformitas individu itu tidak sama tingkatannya karena dipengaruhi oleh faktor emosional dan tipe kepribadian individu tersebut. tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi atau prilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi tertentu.

     E.     Referensi
Ali, M. & Asrori, M. Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta : PT Bumi. 2005
Gerald Corey. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT Refika Aditama. 2010