Jumat, 14 Desember 2012

Self Awarennes (kesadaran Diri Kaitannya dengan Mobility)


Self Awarennes
(kesadaran Diri Kaitannya dengan Mobility)


“Keberadaan manusia di dunia bukan sekedar ada dan berada, tetapi lebih penting lagi, ia dapat mengada.” Kira-kira seperti itulah kutipan dari sebuah buku yang pernah saya baca. Maksud dari pernyataan ini bahwa manusia itu memiliki peran penting baik sebagai objek ataupun subjek dalam sejarah kehidupan ini, bahkan manusia dapat mengada atau mengubah sesuatu yang telah ada. Mengapa demikian? Itu karena akal dan potensi yang dimilikinyalah manusia mampu menjadi seperti itu dan menduduki derajat tertinggi dibanding makhluk lainnya.
Akan tetapi, banyak manusia di dunia ini yang tidak ataupun belum sadar akan potensi yang diberikan Allah kepadanya sebagai anugerah sehingga mereka tidak menggunakan dan memanfaatkan potensi itu secara maksimal. Inilah yang menyebabkan manusia merasa kurang baik dalam hidupnya, merasa hidup yang dijalaninya kurang bermakna serta belum tercapainya kebahagiaan dalam hidup mereka. Oleh karena itu penting sekali bagi manusia untuk sadar akan potensi yang dimilikinya bahkan manusia harus menyadari semua yang ada dan terkait dengan dirinya sendiri.
Sadar dan menyadari, inilah kunci dari pembahasan yang akan lebih disoroti dalam penulisan artikel ini. Kesadaran itulah yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran juga merupakan salah satu kunci dalam menjalani kehidupan. Dengan kesadaran yang dimiliki, manusia dapat menempatkan diri sesuai fungsinya baik sebagai objek/subjek yang sehat, sebagai masyarakat yang baik dan tertib juga sebagai manusia yang dapat menerima kenyataan atau realitas kehidupan sehingga menjadi individu yang bertanggung jawab.
Begitu pentingnya kesadaran yang harus dimiliki manusia, sehingga pembahasan mengenai kesadaran diri (self awarennes) yang dikaitkan/dihubngkan dengan gambaran manusia yang memiliki mobility (kapasitas untuk bergerak) ini cukup menarik. Penulisan ini merupakan hasil dari pengamatan empiris / pengalaman saudara saya sendiri.
Adapun fakta empiris yang telah dialami saudara saya kira-kira seperti ini:
Sebut saja TS, dia merupakan mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di bandung yang menggeluti jurusan psikologi. Sebenarnya dia merupakan anak yang ceria, pandai bergaul dan pintar serta berprestasi, terbukti dari prestasi akademik yang di perolehnya. Waktu masih Sekolah Dasar (SD) dia selalu menjadi juara kelas dan lulus sebagai juara umum pertama, di tingkat Sekolah menengah Pertama (SMP) dia juga masuk kedalam kelas unggulan dan senantiasa masuk peringkat 5 besar dikelasnya serta lulus sebagai juara umum ketiga. Di tingkat selanjutnya yaitu SMA, dia juga slalu masuk peringkat tiga besar di kelasnya. Sampai pada awal waktu kelas tiga SMA, prestasinya mulai menurun, dia telah mengenal yang namanya pacaran atau menjalin hubungan dengan lawan jenis pada waktu itu. Dia bilang sering bermasalah dengan pasangannya ketika waktu Ujian Nasional semakin dekat, sehingga dia lulus dengan nilai yang tidak begitu memuaskan baginya. Disinilah titik awal perubahan sikap TS yang mulanya ceria dan pandai berinteraksi dengan lingkungannya menjadi seseorang yang lebih pendiam, murung dan pasif.
Perubahan sikap TS semakin terlihat ketika dia kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak dapat masuk di Perguruan Tinggi Negeri yang dia inginkan selama ini. Keinginannya masuk di jurusan sains yaitu matematika dan kimia juga tidak terpenuhi sehingga dia terpaksa masuk dan menjalani jurusan yang dia ambil sekarang. Dia sering kali cemas, sedih, rendah diri dan seperti hilangnya kepercayaan kepada dirinya sendiri serta sering emosional karena dia merasa tidak bisa dan menutup diri dengan kenyataan hidup yang dia hadapi. Dia beranggapan potensinya adalah di bidang perhitunngan (matematika), terbukti dengan nilai-nilai yang diperolehnya selalu baik dibanding mata pelajaran yang lain dan dia juga pernah mengikuti perlombaan ataupun olimpiade matematika waktu SMP dan SMA. Selain itu dia juga sering menyalahkan diri sendiri karena telah memutuskan untuk berpacaran juga selalu menyalahkan mantan kekasihnya itu, “karena dialah aku sekarang seperti ini”, itulah kira-kira yang TS selalu katakan di sela-sela penyesalannya.
Sekarangpun dia masih kelihatan kurang percaya diri dan lebih banyak diam, motivasi belajarnya rendah padahal prestasinya tidak begitu buruk, IPK nya masih diatas 3 koma.
Sekilas dari fakta empiris tersebut maka bisa kita kajia secara teoritik atau menganalisis pengalaman TS yang menyebabkan perubahan sifat dan prilakunya. Akan tetapi, sebelum kita menganalisis fakta empiris diatas maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenani apa itu kesadaran diri?. Secara harfiah, kesadaran sama artinya dengan mawas diri (awareness). Kesadaran juga bisa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal. Namun, kesadaran juga mencakup dalam persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu sehingga perhatiannya terpusat.
Menurut Koentjaraningrat, kesadaran adalah hal yang dirasakan, atau dialami oleh individu. Keseluruhan perasaan dan pengetahuan seorang individu beserta proses-proses yang terjadidalam pemikiran dalam jiwa seseorang individu yang berhubungan dengan hal itu, proses-proses terhenti makna waktu tidur, pingsan atau koma.
Proses kesadaran ini mencakup beberapa peristiwa kejiwaan yaitu perasaan, pengalaman dan proses berpikir yang berhubungan dengan sesuatu hal tertentu dan akan terus berlangsung selama manusia itu hidup. Kesadaran diri (Self Awareness) adalah perhatian yang berlangsung ketika seseorang mencoba memahami keadaan internal dirinya. Prosesnya berupa semacam refleksi dimana seseorang secara sadar memikirkan hal-hal yang ia alami berikut emosi-emosi mengenai pengalaman tersebut. Dengan kata lain, Self Awareness juga merupakan keadaan ketika kita membuat diri sendiri sadar tentang emosi yang sedang kita alami dan juga pikiran-pikiran kita mengenai emosi tersebut.
Jadi Kesadaran merupakan unsur dalam manusia dalam memahami realitas dan bagaimna cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas. Manusia dengan dikaruniai akal budi merupakan makhluk hidup yang sadar akan dirinya. Kesadaran yang dimiliki manusia yaitu kesadaran dalam diri, akan diri sesama, masa silam, dan kemungkinan masa depannya. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya sebagai identitas yang sehat dan terpisah serta memiliki kesadaran akan kehidupan yang baik/bermakna, serta akan kenyataan/realitas kehidupan akhirat.
Dari fakta empiris diatas, dapat disimpulkan sementara bahwa individu tersebut belum sepenuhnya sadar akan perasaan, prilaku dan proses berpikirnya. TS belum bisa dikatakan sebagai manusia yang sehat, karena manusia dikatakan sehat jika aspek bio-psiko-sosial-spiritualnya juga baik. Mungkin secara fisik dia tidak terlihat seperti orang yang sakit tapi secara kejiwaan ataupun mental dia mengalami gangguan kesehatan mental/jiwa. Menurut Drs. H. Isep Zainal A., M.Ag. dalam bukunya Bimbingan Penyuluhan Islam, gangguan kesehatan jiwa adalah gangguan yang menyebabkan kepribadian seseorang terganggu sehingga tidak sanggup atau mengalami berbagai kegagalan dalam menjalankan tugas kehidupannya sehari-hari[1]. Definisi lain mengenai kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa (kognitif, afektif dan konatif), serta memiliki kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi dan merasakan secara positif akan kebahagiaan kemampuan dirinya. Dan bertujuan mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi bakat dan bawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membawa pada kebahagiaan hidup. Jadi TS tidak sehat mentalnya dikarenakan dia belum mampu menyadari dan mnegaktualkan segenap potensi yang dimilikinya.
Seringkalinya TS merasa cemas, sedih, rendah diri dan seperti hilangnya kepercayaan kepada dirinya sendiri serta sering emosional (pemarah) merupakan pengaruh gangguan kesehatan mental terhadap perasaannya. Adapun mengenai prestasi belajarnya yang menurun itu juga dapat dikarenakan pengaruh dari gangguan kesehatan mental terhadap pikiran/kecerdasannya. Seseorang yang terganggua kesehatan mentalnya tidak dapat mengkonsentrasikan pikiran tentang suau hal yang penting, kemampuan berpikirnya menurun sehingga seseorang merasa seolah-olah tidak cerdas, pikirannya tidak dipergunakan. Prilaku pendiam, murung dan pasifnya juga merupakan dampak dari kesehatan mentalnya yang terganggu.
Terganggunya kesehatan mental tersebut menjadikan TS belum dapat memahami mengenai hakikat kehidupan yang baik dan bermakna serta menyebabkan TS belum mendapatkan ketenangan dan kebahagian hidup. Karena menurut Zakiah Drazat yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental. orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar serta menerima kegagalan sebagai pelajaran yang akan membawa kesuksesan nantinya.
Jika dilihat dari segi hambatannya, TS mengalami peristiwa atrofi yaitu dimana dia merasa merana disebabkan suatu perubahan penurunan prestasinya. Karena ketidak siapannya menghadapi peristiwa atrofi itu menyebabkan TS terganggu kesehatan mental/jiwanya.
Sikap selalu menyalahkan orang lain (mantan kekasihnya) atas semua yang terjadi pada diri TS sekarang ini merupakan salah satu bentuk escape mecanism yaitu sikap mencari pelarian diri. Dalam pendekatan psikoanalisis peristiwa ini merupakan bentuk lain dari reaksi emosional individu terhadap kegagalan dan ketegangan yang disebut dengan proyeksi. Dimana jika terjadi kecemasan yang ditimbulkan Id dan super ego maka ego berusaha melemparkan sebab kecemasan kepada objek diluar diri agar ketegangan menjadi reda[2].
Belajar di tengah-tengah keadaan yang tidak ia sukai dan menurutnya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya akan tetapi bisa meraih IPK yang lebih dari 3 koma, bisa diumpamakan seperti cerita populer mengenai seekor elang yang lahir di komunitas ayam. Karena lahir dan tumbuh di lingkungan itu, sang elang merasa yakin bahwa dia seekor ayam yang tidak ada bedanya dengan anak-anak ayam. Ia berkokok dan berjalan layaknya seekor ayam. Tak pernah ia mengepakkan sayapnya. Takala suatu hari dia melihat elang terbang tinggi dengan gagahnya, ia hanya bisa ternganga dan berdecak kagum sambil melamun seandainya ia bisa terbang tinggi seperti elang itu.
Cerita ini hanyalah simbol dari suatu ketidaksadaran diri, sehingga seseorang tidak dapat berprestasi sesuai dengan pontensi yang dimilikinya. Oleh karena itu kesadaran diri atau (self-awareness) di yakini merupan satu dari sekian kunci keberhasilan hidup.
Begitu pentingnya kesadaran diri (self-awareness) maka diperlukanlah perubahan-perubahan bagi individu menuju hal yang lebih baik lagi agar individu sadar akan dirinya, sadar akan fungsinya dan sadar akan posisinya dalam menjalani kehidupan. Individu yang memiliki keinginan untuk bergerak dan berubah merupakan salah satu gambaran manusia yang mobility. Dalam kamus psikologi J.P. Caplin mobility merupakan kapasitas atau kemauan untuk membuat perubahan cepat pada satu tempat huni seseorang, dengan implikasi bahwa dengan melakukan perpindahan, seseorang dapat memperbaiki atau meningkatkan posisinya[3]. Jadi mobilisasi disini merupakan keinginan atau kemauan individu untuk berubah dari kondisi yang tidak sadar akan dirinya kepada suatu kondisi tercapainya kesadaran individu sehingga dapat menjadi manusia yang sehat dan memiliki kehidupan yang baik dan bermakna.
Untuk melakukan mobilisasi dalam menumbuhkan kesadaran diri tersebut maka diperlukan beberapa tahapan, yaitu:
1.        Ready of challange
Yaitu siap untuk menghadapi tantangan. Maksudnya individu harus siap untuk menghadapi semua persoalan ataupun masalah yang sedang dan akan dihadapinya. Seperti pengalaman TS yang belum sadar akan dirinya dikarenakan belum siapnya dia menghadapi perubahan yang terjadi padanya.
2.      Front of challange
Yaitu menghadapi tantangan. Setelah siap dengan apapun yang akan terjadi selanjutnya hadapi masalah itu dengan baik dan tepat. jangan lari dari masalah karena itu akan menimbulkan masalah baru lagi.
3.      Management of challange
Yaitu pengelolaan taantangan. Maksudnya untuk mencapai kesadaran diri yang baik maka individu haruslah bisa mengelola tantangan ataupun masalah yang dialami dengan baik. dengan memulai menentukan visi ataupun misi dalam hidup. Konsep kesadaran diri ini harus juga melalui suatu analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, threath atau kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman). Kalau sudah menggunakan konsep ini kemudian dilakukan action yang merupakan bagian fungsi dari manajemen planning, organizing, actuating, controlling atau perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol. Jadi kita dituntut untuk menyetir keadaan bukan disetiri oleh keadaan.
4.      Power full of self empowerment
Yaitu memberdayakan diri secara penuh. Setelah mengelola atau memanage masalah dan rencana tujuan yang akan dilakukan maka manfaatkan dan gunakanlah potensi-potensi diri yang dimiliki dengan totalitas yang penuh.
Jadi pada intinya untuk menumbuhkan kesadaran diri (self awarenness) pada diri setiap manusia maka dibutuhkan mobilisasi dari manusia itu sendiri. Yang harus dilakukan oleh TS yaitu move on (bergerak) dari pemikiran yang selalu merasa menyesal dan kecewa serta sikap pasif dan statisnya itu ke arah yang lebih positif lagi agar hidupnya dinamis dan tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.


[1] Drs. H. Isep Zainal A., M.Ag., Bimbingan Penyuluhan Islam, (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2009) hlm.16
[2] Prof. DR. Sofyan S. Willis, Konseling Individual, (Alfabeta, Bandung: 2011) hlm. 60
[3] J.P. Chaplin, penerjemah : Dr. Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, (PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 1981) hlm.307